Selasa, 28 Oktober 2008

KASUNANAN PAKUBUWANA HADININGRAT


Sejarah telah menulis, setelah kerajaan/Kraton Kartosuro berhasil diterobos oleh pembrontakan Cina, maka pamor kraton dianggap telah pudar. Maka diperintahkan kepada para pinisepuh yang mengetahui tempat baru yang cocok untuk menggantikan Kraton yang baru. Tentu saja dengan 
berbagai pertimbangan, termasuk hal-hal yang bersifat magis. Akhirnya terpilihlah Desa Sala (sehingga menjadi kota Solo, Jateng) yang
berupa rawa-rawa. Maka menurut konon cerita rawa-rawa tersebut ditibun dahulu dengan batangan-batangan pohon,supaya dapat dibangun Kraton yang baik dan tidak di atas rawa-rawa.
Bila kita ingat akan hal tersebut, maka Solo merupakan daerah yang rendah dan rawan banjir, bahkan pernah terjadi banjir beberapa kali, diantaranya yang terbesar tahun 1960-an, karena di daerah pusat perkotaan terendam sampai 3 meteran. Dulu batas banjir ditandai di tembok penjara jalan Slamet Riyadi, Solo. Entah karena apa tanda tersebut akhirnya dihilangkan.

Nah...Akhirnya Berdirilah Kraton Surakarta Hadiningrat pengganti Kraton Kartosuro yang terkenal dengan Untung Suropati-nya. Masyarakat Indonesia pasti tak mengenal lagi kraton Kartosuro Hadiningrat, karena sekarang tinggal puing-puing tembok batu bata yang cukup lebar dan kuat sebagai saksi bisu keberadaan Kraton tersebut membentengi Makam-makam keturunan Kraton, diantaranya Selir Raja yang bernama Sedah Merah yang terkenal kecantikkannya yang sampai sekarang dikeramatkan dan dianggap "wingit" (angker dan magis).

Kraton Surakarta Hadiningrat diperintah oleh seorang raja yang bergelar Sunan Pakubuwono Hadiningrat sebagai penguasa Kerajaan Mataram Islam sampai akhirnya nanti dipecahbelah oleh penjajah  Belanda dalam perjanjian Giyanti (?) melalui politik "devide et Impera"-nya, sehingga di belah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Bahkan politik itu terus berlangsung dengan memecah belah kedua kraton tersebut masing-masing jadi dua lagi.(Perjanjian Salatiga??)
Surakarta dipecah menjadi Kasunanan dan Mangkunegaran, Ngayogyakarta menjadi Kasultanan dan Paku Alaman.
Tentu Politik devide et impera itu dijalankan agar ada pihak Kraton yang memihak pada penguasa penjajahan Belanda. Tragis memang, mengapa bangsa kita dari dulu sampai sekarang mudah sekali di adu domba oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk memancing di air keruh?

Dalam perjalanan Kraton Surakarta Hadiningrat sampai sekarang diperintah oleh Sunan Paku Buwana yang ke 15 mengalami liku-liku kehidupan, penuh dengan intrik-intrik pro dan kontra.
Tak ada keistimewaan Kraton tersebut untuk memerintah daerah secara khusus dalam melestarikan budaya bangsa, bahkan tanda-tanda silang sengketa mulai mewarnai siapa yang berhak memerintah di Kraton tersebut karena Pemerintah ikut serta dalam pemilihan Sunan di Surakarta. Hingga kini Kraton tersebut memiliki Dua Sunan, Pilihan Pemerintah dan pilihan anggota keluarga Kraton. Mana yang lebih berhak dan resmi memerintah dan berkuasa?
Biarlah waktu yang akan menentukan!

Tidak ada komentar: